NIL VOLUNTIBUS ARDUUM CONCEPT ( MEMBANGUN SIKAP RESILIANSI MELALUI MODEL PEMBELAJARAN SOKRATES DAN MULTIPLE INTELLIGENCES) UNTUK MENINGKATKAN PERKEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INTERAKSI SOSIAL ANAK AUTIS


nil voluntibus arduum concept ( membangun sikap resiliansi  melalui model pembelajaran sokrates dan multiple intelligences) untuk meningkatkan perkembangan komunikasi dan Interaksi sosial anak Autis

Puji Rahayu Ningsih
Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Surabaya


RINGKASAN
Autisme atau biasa disebut ASD (Autistic Spectrum Disorder) merupakan gangguan perkembangan fungsi otak yang kompleks dan sangat bervariasi (spektrum). Biasanya gangguan perkembangan ini meliputi cara berkomunikasi, berinteraksi sosial dan kemampuan berimajinasi. Pada individu Autis, mereka  mereka merasa tertekan, mudah frustrasi, memiliki konsep diri yang negatif, dan semakin sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya sehingga terdapat  kesulitan yang ada pada individu Autis, Namun dalam kesulitan-kesulitan tersebut juga terdapat pula prestasi-prestasi mereka diberbagai bidang. Kesuksesan bertahan dalam mengatasi kegagalan itu karena adanya sikap resiliensi, yaitu kemampuan untuk bangkit kembali (bounce back) dari masalah yang berat, kemunduran, atau kondisi terpuruk. Untuk menumbuhkan sikap resiliensi pada individu Autis tersebut digunakan model pembelajaran melalui model pembelajaran Sokrates dan mengembangkan teori Multiple Intelligences ( kecerdasan berganda). Melalui kegiatan tanya jawab yang dilakukan antara guru dengan siswa autis dan pengembangan kecerdasan majemuk (Multiple Intelligences) yang dapat dilihat dengan adanya bermacam-macam penyajian suatu masalah, misalnya : dengan menggunakan pantun, syair lagu yang diganti dengan konsep, teka-teki silang, dsb.  Dari kegiatan tanya jawab yang telah dilakukan  antara sesama anak atau guru dengan anak, hal itu  menunjukkan bahwa pada dalam diri anak autis juga terdapat kecerdasan-kecerdasan yang jika dikembangkan akan memberikan kesuksesan bertahan dari kegagalan (resiliensi) dan memberikan hasil belajar yang optimum bahkan akan meningkatkan perkembangan komunikasi dan interaksi sosial yang baik pada anak autis.

PENDAHULUAN



Latar Belakang
Autisme merupakan salah suatu gangguan perkembangan yang semakin meningkat saat ini, yang menimbulkan kecemasan yang dalam bagi para orangtua.Secara bahasa Autisme berasa dari kata “autos” yang berarti segala sesuatu yang mengarah pada diri sendiri. Dalam kamus psikologi umum ( 1982), autisme berarti preokupasi terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penderita autisme sering disebut orang yang hidup di “alamnya” sendiri. (Anonim :2010)
Sampai saat ini belum ada data resmi mengenai jumlah anak autistik di Indonesia, namun lembaga sensus Amerika Serikat melaporkan bahwa pada tahun 2004 jumlah anak dengan ciri-ciri autistik di Indonesia mencapai 475.000 orang (Kompas, 20 Juli 2005). Pada tahun 1966, ditemukan 4-5 per 10.000 anak berumur sampai 8-10 tahun. Saat ini, mencapai 1 per 10.000 anak, bahkan laporan dari beberapa tempat menunjukkan angka 1 per 150 anak. Anak laki-laki 4-5 kali lebih sering dibandingkan perempuan.  (Anonim : 2005). Dengan semakin berkembangnya penelitian-penelitian mengenai autisme maka semakin disadari bahwa gangguan autistik merupakan suatu spektrum yang luas.
Pada teori executive functioning dari Ozonoff (dalam Jordan, 1999; Frith, 2003). Teori ini menjelaskan bahwa kegagalan anak-anak Austik dalam melaksanakan tugas lebih disebabkan ketidakmampuan untuk melakukan fungsi eksekutif (melakukan beberapa tugas secara bersamaan, berpindah-pindah fokus perhatian, membuat perencanaan, dan menghambat respon yang tidak tepat), bukan karena defisit kompetensi. Sehingga  diperlukan pelatihan suatu sikap bertahan untuk mengatasi kegagalan pada Individu autis.
Penanganan yang mengarahkan anak-anak Autis untuk menjadi normal memberikan dampak psikologis yang negatif. Karena selalu dibandingkan dengan anak-anak ”normal”, secara psikologis anak-anak Autis merasa tidak diterima sebagaimana adanya. Akibatnya, mereka merasa tertekan, mudah frustrasi, memiliki konsep diri yang negatif, dan semakin sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.
Pada kesulitan yang ada pada individu Autis, terdapat pula prestasi-prestasi mereka diberbagai bidang. Kesuksesan bertahan dalam mengatasi kegagalan itu karena adanya sikap resiliensi, yaitu kemampuan untuk bangkit kembali (bounce back) dari masalah yang berat, kemunduran, atau kondisi terpuruk (Siebert, 2005). Resiliensi yang mereka miliki tampaknya merupakan hasil perjuangan sejak masa kanak-kanak dalam mengatasi berbagai hambatan yang berasal dari kondisi neurologis dan biologis. Oleh karena itu akan dicoba untuk menumbuhkan sikap resiliansi pada anak autis melalui suatu model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik anak autis. 


Rumusan Masalah
Gangguan-gangguan dalam berkomunikasi menjadi penyebab terjadinya hambatan berinteraksi anak autis dengan lingkungan sosialnya. Kemampuan berinteraksi ini juga mempengaruhi hasil belajar. Sehingga komunikasi menjadi hal penting bagi penyembuhan anak yang mengalami gejala atau menderita autis. Anak autis memiliki kemampuan yang berdiferensiasi, begitu pula yang terlihat pada kecerdasan majemuknya tapi dalam taraf atau tingkat yang berbeda yang ditunjukkan dengan perilaku atau karakteristik ciri yang berbeda pula.
Bagaimanakah  model pembelajaran yang tepat yang digunakan untuk membangun sikap bertahan dalam mengatasi kegagalan yakni dengan menumbuhkan sikap Resiliensi dan menumbuhkan kecerdasan majemuk ( Multiple Intelligences) pada individu-individu  Autis?


Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam gagasan ini adalah mencari model pembelajaran yang tepat bagi anak Autis untuk membangun sikap bertahan dari kegagalan yakni dengan sikap resiliensi sehingga kegiatan belajar mengajar berjalan dengan baik dan diperoleh hasil yang optimum.


Manfaat
Manfaat yang ingin dicapai dalam adalah:
1.      Bagi Ilmu Pengetahuan
a.       Menambah khasanah pengetahuan tentang model pembelajaran yang tepat diterapkan pada anak autis.
2.      Bagi Negara dan Masyarakat
a.       Memberi solusi mengenai pembelajaran yang tepat bagi anak autis.
b.      Memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang sikap Resiliansi dan upaya penumbuhannya.
c.       Membangun sikap resiliensi yaitu kemampuan individu autis dalam bertahan dalam kegagalan yang kelak akan diperlukan dalam hidup bermasyarakat.



GAGASAN


Pentingnya Pengembangan Sikap resiliansi pada Anak autis


Istilah resiliensi diformulasikan pertama kali oleh Block (dalam Klohnen, 1996) dengan nama ego-resilience, yang diartikan sebagai kemampuan umum yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal. Secara spesifik, ego-resilience adalah:

… a personality resource that allows individual to modify their characteristic level and habitual mode of expression of ego-control as the most adaptively encounter, function in and shape their immediate and long term environmental context. (Block, dalam Klohnen, 1996, hal.45).

Nampak bahwa ego resiliensi merupakan satu sumber kepribadian yang berfungsi membentuk konteks lingkungan jangka pendek maupun jangka panjang, di mana sumber daya tersebut memungkinkan individu untuk memodifikasi tingkat karakter dan cara mengekspresikan pengendalian ego yang biasa mereka lakukan. Resiliensi disebut juga oleh Wolin & Wolin (dalam Bautista, Roldan & Bascal, 2001), sebagai keterampilan coping saat dihadapkan pada tantangan hidup atau kapasitas individu untuk tetap “sehat” (wellness) dan terus memperbaiki diri (self repair).
Menurut Reivich & Shatte (2002), resiliensi memiliki empat fungsi fundamental dalam kehidupan manusia yaitu: mengatasi hambatan-hambatan pada masa kecil, melewati tantangan-tantangan dalam kehidupan sehari-hari, bangkit kembali setelah mengalami kejadian traumatik atau kesulitan besar, dan mencapai prestasi terbaik. Keempat fungsi resiliensi ini tampak dalam perjalanan hidup para individu Autis, walaupun intensitasnya berbeda pada masing-masing.
Grotberg (1995), mengemukakan faktor-faktor resiliensi yang diidentifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang berbeda. Untuk kekuatan individu, dalam diri pribadi digunakan istilah ‘I Am’, untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya, digunakan istilah ‘I Have’, sedangkan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah’I Can’. Berikut ini akan dijelaskan mengenai faktor-faktor resiliensi yang dapat menggambarkan resiliensi pada individu. I Am, I Have, I Can merupakan karakteristik untuk meningkatkan resiliensi dari the principal investigator of the Internasional Resilieance Project (Grotberg,1995). 

Pengertian dari kata I Am
Faktor I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri, seperti perasaan, tingkah laku dan kepercayaan yang terdapat dalam diri seseorang. Faktor I Am terdiri dari beberapa bagian antara lain; bangga pada diri sendiri, perasaan dicintai dan sikap yang menarik, individu dipenuhi harapan, iman, dan kepercayaan, mencintai, empati dan altruistic, yang terakhir adalah mandiri dan bertanggung jawab. 
Bangga pada diri sendiri; individu tahu bahwa mereka adalah seorang yang penting dan merasa bangga akan siapakah mereka itu dan apapun yang mereka lakukan atau akan dicapai. Individu itu tidak akan membiarkan orang lain meremehkan atau merendahkan mereka. Ketika individu mempunyai masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self esteem membantu mereka untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut. 
Perasaan dicintai yakni individu percaya ada harapan bagi mereka, serta orang lain dan institusi yang dapat dipercaya. Individu merasakan mana yang benar maupun salah, dan ingin ikut serta di dalamnya. Individu mempunyai kepercayaan diri dan iman dalam moral dan kebaikan, serta dapat mengekspresikannya sebagai kepercayaan terhadap Tuhan dan manusia yang mempunyai spiritual yang lebih tinggi. Mencintai, empati, altruistic; yaitu ketika seseorang mencintai orang lain dan mengekspresikan cinta itu dengan berbagai macam cara. Serta individu mengerti batasan kontrol mereka terhadap berbagai kegiatan dan mengetahui saat orang lain bertanggung jawab. 
Setiap faktor dari I Am, I Have, I Can memberikan konstribusi pada berbagai macam tindakan yang dapat meningkatkan potensi resiliensi. Individu yang resilien tidak membutuhkan semua sumber-sumber dari setiap faktor, tetapi apabila individu hanya memiliki satu faktor individu tersebut tidak dapat dikatakan sebagai individu yang beresiliensi, misalnya individu yang mampu berkomunikasi dengan baik (I Can) tetapi ia tidak mempunyai hubungan yang dekat dengan orang lain (I Have) dan tidak dapat mencintai orang lain (I Am), ia tidak termasuk orang yang beresiliensi. 
Nil Voluntibus Arduum Concept  merupakan adopsi dari konsep resiliansi dimana sikap resiliensi yang dibangun dapat memberikan kekuatan jika individu tersebut mengalami kegagalan termasuk dalam kegagalan belajar, sehingga akan didapat individu autis yang tegar dan kuat. Termasuk dalam kegiatan belajar mengajar agar diperoleh hasil yang optimal. Nil Voluntibus Arduum Concept memberikan penekanan bahwa Individu autis tersebut tidak boleh berputus asa, dengan mengajarkan bahwa tidak ada yang sukar bagi yang mempunyai kemauan.


Penerapan Model pembelajaran sokrates dan pengembangan Multiple Intelligences ( kecerdasan majemuk )

Autisme atau biasa disebut ASD (Autistic Spectrum Disorder) merupakan gangguan perkembangan fungsi otak yang kompleks dan sangat bervariasi (spektrum). Biasanya gangguan perkembangan ini meliputi cara berkomunikasi, berinteraksi sosial dan kemampuan berimajinasi. Dari sini diwajibkan bahwa Guru sebagai pengajar dan pendidik di sekolah memiliki peranan yang ganda, yaitu membantu orang tua anak autis di sekolah, membantu terapis atau pembimbing dan pelatih dalam progam penatalaksanaan gangguan autisme agar anak autis dapat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan dan berperilaku secara tepat.
Pada sebagian besar individu Autis, emosi-emosi yang mendominasi kehidupan mereka adalah cemas dan takut, yang bersumber dari benda-benda atau kejadian-kejadian di dunia luar. Sistem sensorik yang tidak berfungsi dengan baik menuntut anak-anak Autis untuk berjuang setiap hari untuk menghindarkan diri dari stimulus berlebihan dan demi memperoleh rasa nyaman. Untuk dapat melakukan kontak dengan orang lain (interaksi sosial), dibutuhkan perjuangan yang lebih besar lagi karena dibutuhkan tidak saja kemampuan komunikasi yang cukup baik tetapi juga ketrampilan sosial. Perjuangan mereka terus berlanjut dan semakin sulit saat mereka dituntut untuk belajar di sekolah, menjalin interaksi dengan teman-teman sebaya, mengatasi perubahan-perubahan hormonal, dan berhubungan dengan lawan jenis. interaksi sosial tetap dirasakan sulit dan membingungkan, bahkan bagi dewasa Asperger yang memiliki inteligensi yang tinggi. Keterbatasan utama yang dirasakan adalah tidak adanya ”insting sosial”, sehingga mereka kesulitan dalam memahami aturan-aturan sosial yang kompleks dan seringkali berubah.
Sebagian besar anak autis mengalami keterlambatan dalam perkembangan bahasa atau bahkan tidak bicara sama sekali. Walaupun demikian, pemahaman bahasa mereka biasanya cukup baik. Sejak kecil mereka perlu diajarkan berbagai cara komunikasi dengan memanfaatkan kemampuan visual mereka yang menonjol. Untuk anak-anak autis nonverbal dapat digunakan cara komunikasi dengan gambar, bahasa isyarat dan mengetik. Bagi anak-anak  autis yang dapat berbicara tapi masih memiliki hambatan, perlu diberikan terapi wicara dengan cara-cara yang menyenangkan dan memperhatikan minat anak.
Dalam mengembangkan kemampuan interaksi sosial, individu autis perlu diberikan bimbingan dari berbagai pihak, seperti orang tua, guru, sahabat, dan kelompok teman sebaya. Metode pembelajaran Sokrates, yang menggunakan cerita-cerita singkat dan Tanya jawab  untuk menjelaskan aturan sosial pada berbagai konteks, dan mendiskusikan berbagai kejadian yang telah dialami oleh individu Autistik merupakan dua cara yang sangat bermanfaat. Disamping itu lingkungan sosial juga perlu memahami dan toleran terhadap perbedaan-perbedaan mereka.
Salah satu model pembelajaran yang tepat dipilih adalah dengan menggunakan model pembelajaran Sokrates. Model pembelajaran Sokrates merupakan model pembelajaran bertanya jawab dilakukan oleh Sokrates. Model yang merupakan metode awal pembelajaran kuno yang masih asli, dan keberadaannya sampai sekarang adalah sebagai kerangka awal dari terbentuknya model-model pembelajaran baru yang telah ada saat ini, misalnya: Model PBI (Problem Based Instructions) dari ciri berpikir kritis, Model diskusi dari sisi teknik, Model kooperatif dari ciri kerja sama atau kooperasi menghargai pendapat orang lain  dalam berdialektika. ( Nadi Suprapto & Dwikoranto, 2009 & A. Qosyim, 2007 )
Model Sokrates ini hanya merupakan model pengajaran klasik yang didesain untuk menciptakan pemikir secara otomatis. Sebelum memulai pembelajaran, menurut Benson (2000) terdapat unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam merencanakan pembelajaran model Sokrates, yaitu:
·   The teacher and student must agree on the topic of instruction.
·   The student must agree to attempt to answer questions from the teacher.
·   The teacher and student must be willing to accept any correctly-reasoned answer. That is, the reasoning process must be considered more important than pre-conceived facts or beliefs.
·   The teacher's questions must expose errors in the students' reasoning or beliefs. That is, the teacher must reason more quickly and correctly than the student, and discover errors in the students' reasoning, and then formulate a question that the students cannot answer except by a correct reasoning process. To perform this service, the teacher must be very quick-thinking about the classic errors in reasoning.
·   If the teacher makes an error of logic or fact, it is acceptable for a student to correct the teacher.
Model sokrates ditandai dengan ciri-ciri, sifat karakteristik sebagai berikut.
1.       Dialektik, artinya bahwa model tersebut dilakukan oleh dua orang atau lebih yang pro dan kontra, atau yang memiliki perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat  ini dapat untuk melatih komunikasi yang baik dengan orang lain.
2.       Konfersasi, artinya bahwa model dilakukan dalam bentuk percakapan atau komunikasi lisan. Konfersasi ini menumbuhkan interaksi sosial, jika ada kesulitan yang ditemui mereka tidak cenderung putus asa dan mau memecahkan kesulitan tersebut dengan orang lain sehingga dapat meningkatkan sikap resiliensi pada anak autis.
3.       Tentatif dan provisional, artinya kebenaran yang dicari bersifat sementara tidak mutlak, dan merupakan alternatif-alternatif yang terbuka untuk segala kemungkinan. Dalam melatihkan sikap resiliensi banyak terdapat alternatif jawaban untuk setiap kesulitan yang ada pada anak autis.
4.       Empiris dan  induktif, artinya segala sesuatu yang dibicarakan dan cara penyelesainnya harus bersumber pada hal-hal empiris. Hal empiris ini memudahkan untuk pemecahan masalah anak autis.
5.       Konsepsional, artinya model dirtujukan untuk tercapainya pengetahuan, pengertian dan konsep-konsep yang lebih definitif daripada sebelumnya.
Model Sokrates merupakan model yang dapat membantu memudahkan anak autis untuk mendapatkan pemahaman secara berangkai dari bentuk tanya jawab yang dilakukan. Bentuk-bentuk tahapan prosedural melaksanakan tanya-jawab  seperti yang dilakukan oleh Socrates dalam membelajarkan bahan dengan perilaku menirukan apa yang dilaksanakan oleh guru Socrates, diperoleh dari sumber tertulis dalam bukunya David W. Johnson & Roger T. Johnson, 2002 yang berjudul: The Meaningful Assesing, yang disadur secara bebas oleh peneliti sebagai  berikut.

 BEING A SOCRATES
1.   Choose  a topic being studied.
2.   Develop two or three general questions on what the student knows about the topic to begin an interview.
3.   After asking the opening questions, probe what the student knows while looking for incosistencies, contradictions, or conflicts in what the student is saying.
4.   Ask follow-up questions that highlight the conflicts within the student′s reasoning and make the contradictions focal points for the student′s attention.
5.   Continue the interview until the student has resolved the conflicts by moving toward deeper-level analysis of what he or she knows and by arriving a greater and greater insights into the material being studied.
6.   Conclude the interview by pointing the student toward further resources to read and study. ( Nadi Suprapto & Dwikoranto, 2009 & A. Qosyim, 2007)

Sedangkan teori Multiple Intelligences merupakan teori yang menyatakan bahwa kecerdasan meliputi beberapa komponen kemampuan intelektual. Multiple Intelligences pada dasarnya merupakan pengembangan dari kecerdasan otak (IQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ). Semua jenis kecerdasan perlu dirangsang pada diri anak sejak usia dini, mulai dari saat lahir hingga awal memasuki sekolah (7 – 8 tahun). (Kompas, 13 Oktober 2003).

An intelligence is the ability to solve problems, or to create products that are valued within one or more cultural setting”. (Gardner 1983)
Gardner menekankan dalam jenis inteligensinya bahwa inteligensi hanya merupakan konstrak ilmiah yang secara potensial berguna. Jenis-jenis inteligensi Gardner :
A. Kecerdasan spasial, merupakan kecerdasan seseorang yang berdasar pada kemampuan menangkap informasi visual atau spasial, mentransformasidan modifikasinya, dan membentuk kembali gambaran visual tanpa stimulus fisik yang asli.
B. Kecerdasan bahasa, merupakan kecerdasan individu dengan dasar penggunaan kata-kata dan atau bahasa. Meliputi mekanisme yang berkaitan dengan fonologi, sintaksis, semantik dan pragmatik.
C. Kecerdasan logis matematis. Kecerdasan tersebut mendasarkan diri pada kemampuan penggunaan penalaran, logika dan angka-angka matematis.
D. Kecerdasan jasmani kinestetik. Kemampuan untuk mengendalikan gerakan tubuh dan memainkan benda-benda secara canggih, merupakan bentuk nyata dari kecerdasan tersebut.
E. Kecerdasan musikal. memungkinkan individu menciptakan, mengkomunikasikan dan memahami makna yang dihasilkan oleh suara..
F. Kecerdasan interpersonal, merupakan kecerdasan dalam berhubungan dan memahami orang lain di luar dirinya. Kecerdasan tersebut menuntun individu untuk melihat berbagai fenomena dari sudut pandang orang lain, agar dapat memahami bagaimana mereka melihat dan merasakan.
G. Kecerdasan intrapersonal, tergantung pada proses dasar yang memungkinkan individu untuk mengklasifikasikan dengan tepat perasaan-perasaan mereka, misalnya membedakan sakit dan senang dan bertingkah laku tepat sesuai pembedaan tersebut.
Teori tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa kemampuan intelektual yang diukur melalui tes IQ sangatlah terbatas karena tes IQ hanya menekan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa (Gardner, 2003). Padahal setiap orang mempunyai cara yang unik untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya, termasuk pada anak autis. Kecerdasan bukan hanya dilihat dari nilai yang diperoleh seseorang. Kecerdasan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melihat suatu masalah, lalu menyelesaikan masalah tersebut atau membuat sesuatu yang dapat berguna bagi orang lain. Sehingga dengan mengembangkan kecerdasan majemuk ( Multiple Intelligences) dapat meningkatkan kemampuan bertahan (resiliensi) dari kegagalan pada anak autis.
Pembahasan Gagasan
Anak autisme memiliki kemampuan yang berdeferensiasi, begitupula yang terlihat pada kecerdasan majemuknya. Jika kita melihat dengan kacamata kecerdasan majemuk yang dikemukakan Gardner diatas, kita bisa melihat juga kecerdasan majemuk ada pada penderita autis, tapi dalam taraf atau tingkat yang berbeda yang ditunjukkan dengan perilaku/karakteristik ciri yang berbeda pula tapi tetap itu merupakan gambaran bahwa penderita autis sebagai manusia yang terus berkembang dari waktu ke waktu juga memilikinya. Tabel Dibawah ini merupakan sintaks/ tahapan dari Model pembelajaran Sokrates dan pengembangan Multiple Intelligences ( kecerdasan majemuk ).
Tabel 1 Sintaks Pembelajaran Model Sokrates dan pengembangan kecerdasan majemuk (Multiple Intelligences)
Tahap
Tingkah laku Guru
Tahap -1
Menentukan topik    yang akan   dipelajari
Guru mengorientasikan arah pembelajaran dengan menetapkan topik yang dipelajari, dengan cara menyampaikan tujuan pembelajaran (kompetensi standar, kompetensi dasar, indikator), menarik perhatian, dan  menggali pengetahuan awal
Tahap -2
Mengembangkan dua, atau tiga pertanyaan umum, untuk memulai melaksanakan tanya jawab
Guru mengajukan rangkaian pertanyaan-pertanyaan sederhana kepada anak (siswa)


Tahap -3
Melihat/mengobservasi  apakah    pada diri anak ada kemungkinan  terjadi ketidakcocokan, pertentangan, atau konflik kognitif
Guru melihat dan mengobservasi respon anak terhadap pengajuan rangkaian pertanyaan pembuka yang telah diajukan, apakah ada konflik kognitif, pertentangan, bahkan ketidakcocokkan
Tahap -4
Menanyakan kembali tentang hal-hal yang menimbulkan konflik kognitif
Guru melaksanakan diskusi secara lebih mendalam (fokus) terhadap apa yang menjadi bahan pertentangan dan konflik kognitif siswa yang merupakan bagian dari model  pembelajaran Sokrates dan guru dapat mengembangkan idenya dengan menerapkan pembelajaran kecerdasan majemuk dalam memberi pertanyaan atau mengembangkan permasalahan. Guru membuat Seperti 1) Teka Teki Silang (TTS) dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan pembelajaran, 2) pantun tentang pembelajaran, 3) mengganti syair lagu kesukaan mereka dengan konsep-konsep dan 4) sebuah drama singkat tanpa kata untuk menjelaskan suatu konsep. Dan agar ‘permainan’ menjadi lebih menarik maka diberikan aturan-aturan dan penilaian-penilaian dalam setiap jenis ‘permainan’ yang dilakukan.
Tahap -5
Melanjutkan tanya-jawab sehingga siswa dapat memecahkan konflik sampai bergerak ketingkat analisis lebih dalam
Guru memberikan stimulasi-stimulasi, dan ilustrasi-ilustrasi serta pemantapan yang dibangun atas penalaran-penalaran induktif hasil pembacaan realitas atau peristiwa yang ada dengan suguhan fakta-fakta empiris, sehingga menghasilkan pemahaman yang konsepsional pada anak. Sehingga disini jika anak terdapat kesulitan dalam belajar digunakan tanya jawab dan pengembangan kecerdasan lain yang ada pada anak Autis sehingga dapat mengembangkan sikap resiliansi, komunikasi dan interaksi sosial pada anak autis.



 
Pada gagasan ini dikembangkan pembelajaran dengan model Pembelajaran Sokrates dan kecerdasan majemuk (Multiple Intelligences). Pada model Sokrates hal ini dapat dilihat dengan adanya Tanya jawab yang dilakukan antara guru dengan siswa autis dan pengembangan kecerdasan majemuk (Multiple Intelligences) dapat dilihat dengan adanya bermacam-macam penyajian suatu masalah yakni melalui 1) Teka Teki Silang (TTS) dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan pembelajaran, 2) pantun tentang pembelajaran, 3) mengganti syair lagu kesukaan mereka dengan konsep-konsep dan 4) sebuah drama singkat tanpa kata untuk menjelaskan suatu konsep. Adanya bermacaam-macam media di atas dapat mengembangkan kecerdasan lain anak autis yang tidak hanya menitikberatkan pada kecerdasan logis- matematis, namun juga mengembangkan kecerdasan spasial, musikal, bahasa, jasmani- kinestetis, intrapersonal dan interpersonal. Pada diri anak autis dapat memahami bahwa jika mereka mempunyai kesulitan dalam pembelajaran dapat bertukar pikiran (Tanya jawab) antara sesama anak atau guru dengan anak dan menunjukkan bahwa pada dalam diri anak autis juga terdapat kecerdasan-kecerdasan yang jika dikembangkan akan memberikan hasil belajar yang optimum bahkan akan meningkatkan perkembangan komunikasi dan interaksi sosial yang baik pada anak autis. Sehingga akan menumbuhkan sikap resiliensi (kemampuan bertahan ) yang sangat diperlukan untuk kehidupan anak autis. Nil Voluntibus Arduum Concept  merupakan adopsi dari konsep resiliansi dimana sikap resiliansi yang dibangun dapat memberikan kekuatan jika individu tersebut mengalami kegagalan, konsep ini memberikan penekanan bahwa Individu autis tersebut tidak boleh berputus asa, dengan mengajarkan bahwa tidak ada yang sukar bagi yang mempunyai kemauan.


Peran guru sangat penting dalam mengembangkan sikap resiliansi  dan pengajaran pada anak Autisme

Tingkat keberhasilan pelaksanaan program pendidikan dan pengajaran anak autisme dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti yang juga terjadi pada anak normal biasa. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi berhasil atau tidaknya pendidikan dan pengajaran itu antara lain : Berat – ringannya kelainan/gejala, usia pada saat diagnosis, tingkat kemampuan berbicara dan berbahasa, tingkat kelebihan (streng) dan kekurangan (weakness) yang dimiliki anak, kecerdasan/IQ, kesehatan dan kestabilan emosi anak, dan juga terapi yang tepat dan terpadu meliputi guru, kurikulum, metode, sarana pendidikan, lingkungan (keluarga, sekolah dan masyarakat).
Penyusunan program layanan pendidikan dan pengajaran untuk anak dengan autis terkadang mengabaikan diferensiasi kemampuan yang dimiliki tiap individu. Padahal anak dengan autis memiliki kemampuan dan ketidakmampuan khusus yang banyak tidak diperhatikan dalam kurikulum di negara kita. Kegiatan belajar mengajar merupakan interaksi antara siswa (anak autisme) yang belajar dan guru pembimbing yang mengajar. Dalam upaya membelajarkan anak autisme tidak mudah. Guru pembimbing sebagai model untuk anak autisme harus memiliki kepekaan, ketelatenan, kreatif dan konsisten di dalam kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan. Oleh karena anak autisme pada umumnya mengalami kesulitan untuk memahami dan mengerti orang lain. Maka guru pembimbing diharuskan untuk mampu memahami dan mengerti anak autisme.
Prinsip pendidikan pada anak dengan autisme bukanlah menjadikan anak tersebut sebaik mungkin atau senormal mungkin dimata masyarakat, atau agar tidak dianggap sebagai anak dengan banyak ”kekurangan”. Tapi paradigma tersebut haruslah diubah agar pendidikan untuk anak autisme dapat berguna untuk masa depannya dengan mengoptimalkan kemampuan-kemampuan serta potensi-potensi yang mereka miliki dengan mengikuti “jalur” yang mereka miliki tapi bukan tanpa suatu tujuan.
Gardner (dalam Amstrong, 1993) menyatakan ada banyak cara untuk menjadi cerdas dan ada banyak cara juga untuk belajar. Setiap orang mempunyai tujuh kecerdasan dan mempunyai kemampuan untuk mengembangkan setiap kecerdasan hingga tingkat kemahiran tertentu. Jangan menitik beratkan perhatian hanya pada salah satu kecerdasan saja. Tidak beda yang terjadi pada anak autisme. Mereka juga memiliki kesemuanya itu. Perkembangan anak autisme juga terus menerus berjalan dan tidak berhenti hanya sampai pada satu titik saja. Dengan tidak melupakan prinsip pengajaran dan pendidikan bagi anak autisme, yaitu: terstruktur, terpola, terprogram, konsisten, dan kontinyu. Selain itu untuk dapat mengajarkan anak autisme butuh suatu komitmen dan kesabaran serta keikhlasan yang tinggi,  Tapi yang sedikit berbeda pada mereka adalah mereka butuh untuk dituntun, diberi contoh step by step untuk melakukannya, sehingga guru berperan penting dalam mengembangkan pembelajaran ini.



KESIMPULAN

Kesimpulan Gagasan
Untuk menumbuhkan sikap resiliensi yakni kemampuan umum yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal dapat ditumbuhkan melalui model pembelajaran Sokrates dan mengembangkan teori Multiple Intelligences ( kecerdasan berganda). Melalui kegiatan tanya jawab yang dilakukan antara guru dengan siswa autis dan pengembangan kecerdasan majemuk (Multiple Intelligences) yang dapat dilihat dengan adanya bermacam-macam penyajian suatu masalah, misalnya : dengan menggunakan pantun, syair lagu yang diganti dengan konsep, teka-teki silang,dsb.  Dari kegiatan tanya jawab yang telah dilakukan  antara sesama anak atau guru dengan anak dan menunjukkan bahwa pada dalam diri anak autis juga terdapat kecerdasan-kecerdasan yang jika dikembangkan akan memberikan hasil belajar yang optimum bahkan akan meningkatkan perkembangan komunikasi dan interaksi sosial yang baik pada anak autis.


DAFTAR PUSTAKA

Atmah. 2004. “Pengembangan Perangkat pembelajaran Sains untuk SMP dan   MTs Menerapkan Pola Pemberdayaan Berpikir Melalui Pertanyaan Pada sistem Ekskresi pada Manusia” Tesis, Magister Pendidikan Sains.. Tidak dipublikasikan. Surabaya. PPs Unesa.
Anonim. 2010. Model pembelajaran yang efektif bagi penderita autism. Diunduh 1 Februari 2011 dar http://dunia.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/arsip/model-pembelajaran-yang-efektif-bagi-penderita-autisme.html
Ariffini, dkk. 2007. Analisis kecerdasan pelbagai ( Multiple Intelligences ) di kalangan Pensyarah di sebuah Institusi Pengajian Tinggi (IPT). Jurnal Teknologi, 41(E) Dis. 2004: 33–42 © Universiti Teknologi Malaysia Fakulti Pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia
Benson, Hugh. 2000. Socratic Wisdom (Oxford: Oxford University Press). Retrieved from http://en.wikipedia.org/wiki/Socratic_method"
Buku Pedoman Universitas Negeri Surabaya. TA. 2006, 2007,2008, 2009. Unesa.University Press. Surabaya.
Ennis, R. H. 1991. An Elaboration of a cardinal goal of science instruction, Educational philosophy and theory, 23(1), 31-43.
Ginanjar, S.A. 2007. Memahami spectrum Autistik secara holistic.Disertasi Program Pascasarjana Fakultas Psikologi UI
Grotberg, E. (1995). A Guide to Promoting Resilience in Children: Strengthening The Human Spirit. Benard Van Leer Fondation.
Johnson, David. W & Johson, Robert, T. 2002. The Meaningful Assessing           “A Manageable and Cooperative Process”. Allyn and Bacon.
Judarwanto, W.2008. Kekhawatiran terhadap Tphimerosal dan Autisme. RSB Jakarta Puterakembara
Klohnen, E.C. (1996). Conseptual Analysis and Measurement of The Construct of Ego Resilience. Journal of Personality and Social Psychology, Volume. 70 No 5, p 1067-1079.
Mariani, Deviari. 2008. Kecerdasan berganda pada penderita autisme . diunduh 2 Februari 2011 dari http://deviarimariani.wordpress.com/2008/06/16/kecerdasan-berganda-pada-penderita-autisme/
Qosyim, A. 2007. Model Sokrates (Socrates Method). Studi Implikasi Model Socrates dalam Praktek Pendidikan. Surabaya: Pasca Sarjana UNESA.
Suprapto, N. & Qosyim, A. 2007. “Penerapan Model Socrates (Socratic Method) untuk Menunjang Advance Organizer pada Perkuliahan Sejarah Fisika.”  Prosiding No ISBN 978-979-17494-0-4. (Makalah yang dipresentasikan dalam  Seminar Fisika UNAIR tanggal 4 September 2007 di Hotel Elmi Surabaya).